“Apa yang hendak kau harap dari laki-laki itu nak?
Coba kau katakan pada tante”
Aku disidang dalam sebuah kamar di rumah mertua adikku sendiri, tatkala suamiku tega meninggalkanku pulang sendiri ke kampung.
Ya, ini adalah kali pertama tanteku yang sangat sabar akhirnya mencoba menyadarkanku akan permintaan keluargaku untuk berpisah dengan duda yang menikahiku 7 tahun silam. Aku yang duduk di atas kursi rias berwarna coklat yang terbuat dari kayu jati hanya bisa diam mendengar bait demi bait amarah yang keluar dari bibir mungil tanteku.
Akupun tak habis pikir saat aku mencari sosok dirinya di dermaga tempat kapal sewaan keluargaku disandarkan.
“Kek, suami saya mana ya?…” tanyaku pada seorang pria paruh baya bertubuh jangkung itu..
“Loh, bukannya dia sudah pulang naik kapal?”
Aku terpaku mendengar jawaban itu. Aku serasa ditimpali dengan beratus-ratus batang pohon hingga aku lunglai. Aku sangat kecewa mengapa abang tega mempermalukanku. Memang perkawinanku sudah dilanda prahara sejak beberapa waktu belakangan. Namun tidakkah dia mampu bersikap bijak ketika adikku sedang melangsungkan hari pernikahannya.
“Iya kek, terimakasih..”
kubalikkan badan hingga aku menahan air mataku yang tumpah agar tidak ada yang
menyelidik lebih dalam akan keadaanku.
Keluargaku sedari dulu telah berulang kali menyarankan agar aku menceraikan suamiku. Dia tak pernah memberiku uang gajinya sedikitpun. Untuk makan sehari-haripun aku menggunakan uang yang kuhasilkan sendiri sebagai guru honorer. Semua tindakan abang bak menari-nari sambil tertawa lepas di atas kepalaku. Aku berkuat, ini bukanlah rumahku. Ini hari bahagia adikku bertahan dan bertahan adalah yang bisa kulakukan.
Aku berjalan menghampiri bapakku
“Kenapa kau sendiri, mana suamimu? Tanyanya padaku sambil menatapku dalam-dalam”
“Abang sudah pulang duluan bapak”
Bapak yang mendengar jawaban dariku langsung menduduki kursi plastik yang tepat berada di sampingnya. Kulihat ekspresi wajah bapak yang sedih bercampur marah.
“Kenapa dia pulang lebih dulu? Sungguh bapak tak menyangka dia mampu berbuat itu di pernikahan adikmu nak? Jika memang begitu kenapa sedari awal dia datang?”
Air mataku akhirnya tumpah tatkala mendengar kata bapak. Aku sungguh malu dengan sosok lelaki yang mulai renta itu. Aku malu karena tidak bisa menenangkan keadaan di hari bahagia adikku. Aku takut kejadian ini membuat adikku malu di hadapan keluarga istri yang baru dinikahinya beberapa jam yang lalu. Aku malu, malu dan malu.
Ayahku meninggalkanku sembari mengelus lenganku.
“Sabar nak..sabarlah”
Tiga hari sebelumnya aku dan abang bertengkar hebat. Aku akhirnya menumpahkan seluruh luka hati yang telah 7 tahun kupendam. Aku membeberkan betapa dia sangat tak adil terhadapku istrinya. Bagaimana abang yang tak pernah sedikitpun memberikanku nafkah dari hasil gaji yang ia dapatkan. Bagaimana aku harus menafkahi keluarga dari uang gajiku, bahkan hingga aku harus berbohong kepada orang tuaku mengenai aku yang tak dinafkahinya .
“Buat apa kau nikahi aku jika kau tak mampu menjaga perasaanku bang? Aku tau kau
0 Response to "Kisah Isfiratif : Suamiku Bukanlah Jodohku"
Post a Comment