Bibirmu Tersenyum, Tetapi Matamu Tidak Dapat Berbohong.


Hasil quick count Pilkada putaran kedua sudah menunjukkan bahwa pasangan calon nomor 3 menang telak. Saya salut, kepada bapak Basuki Tjahaja Purnama dan bapak Djarot Saiful Hidayat karena mereka menunjukkan sikap yang lebih dari seorang ksatria yang bukan hanya mengakui kekalahannya, tetapi juga menerima dengan lapang dada hasil pesta demokrasi ini.

Penulis telah melihat konferensi pers yang mereka adakan, dan lagi-lagi penulis merasa bahwa merekalah pemimpin sejati. Selain menyampaikan selamat kepada lawannya, mereka, pasangan nomor urut 2 ini juga menenangkan pendukungnya bahwa siapapun pemenangnya, Jakarta, ya Jakarta, adalah rumah kita bersama. Terlebih lagi pada saat bapak Basuki T. P. mengatakan hal ini;

“Karena bahwa kekuasaan itu Tuhan yang kasih, dan Tuhan juga yang ngambil, dan tidak ada seorangpun yang bisa menjabat tanpa seizin Tuhan. Jadi semua jangan terlalu dipikirkan.”
B. T. P.

Sontak semua orang yang menghadiri konferensi pers tersebut menjawab dengan lantang, “amin.” Saya terharu, karena tanpa memandang etnis dan agama mereka mengatakannya dengan bersamaan seperti ada yang memandu. Tetapi saya yakin mereka mengatakan “amin” karena mereka tahu, bahwa semua hal kembali terjadi atas izin kepada Sang Pencipta.

Banyak orang yang melihat bahwa pasangan nomor 2 menerima kekalahan mereka dengan wajah yang tersenyum, seakan mereka mencoba meyakinkan pendukungnya bahwa semua baik-baik saja. Tetapi satu hal yang orang lupa, bahwa mata adalah jendela jiwa.

Pada foto diatas dapat kita lihat bahwa pak Basuki dan merasa kecewa. Ia tidak kecewa pada kekalahannya, karena saya yakin apa yang pak Basuki dan pak Djarot katakan benar-benar dari lubuk hati mereka yang terdalam. Lalu apa yang membuat mereka kecewa? Hal yang membuat mereka kecewa adalah karena, hancurnya demokrasi, pilar-pilar kebangsaan, rasa kebhinekaan dan terpecahnya warga Jakarta, dan banyak masyarakat Indonesia hanya karena isu-isu ‘receh’ yang menyangkut SARA.

Penulis tidak akan menulis panjang lebar tentang isu-isu ‘receh’ ini, karena pembaca sudah tahu betul apa saja yang terjadi saat Pilkada bahkan Pilpres sekalipun, jika salah satu kandidatnya adalah orang yang mau bekerja banting tulang untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik.

Kekecewaan itu dapat kita rasakan, karena rupa-rupanya masih banyak orang yang terlalu cinta dengan uang sehingga tidak mempedulikan kemaslahatan orang banyak. Mereka berlomba-lomba untuk bisa mengisi pundi-pundinya meskipun harus memecah-belah bangsa. Bahkan mereka bisa-bisanya menari diatas penderitaan rakyat putus asa yang menginginkan terjadinya perubahan. Mau sampai kapan kalian terus terjajah oleh doktrin “yang penting aku kaya, yang penting aku berkuasa”? Mau sampai kapan ketamakan menjadi pandu dalam hidupmu?

kelompok pemecah-belah inilah yang sebetulnya lupa akan landasan negara kita, yang bisa diterapkan oleh para pejuang bangsa kita kepada setiap individu dari Sabang sampai Merauke untuk bersatu demi mencapai kemerdekaan bangsa ini.

Ai, sudahlah. Hingga mulut berbusa pun, tidak akan didengar oleh mereka yang kepalanya lebih keras dari batu. Mereka akan baru sadar pada saat mereka harus membayar apa yang telah mereka perbuat. Tetapi pada saat itu, penyesalan mereka tiada artinya, karena sudah terlambat.

Maaf kalau penulis sampai-sampai loncat topik, penulis hanya ingin mengutarakan kekecewaan yang dimiliki oleh pak Basuki dan pak Djarot, bahwa “masa isu receh aja bisa memecah belah?”. Ibarat ABG yang bermusuhan dan saling menghina hanya karena yang satu suka warna biru, dan yang lain suka dengan warna hijau.

Kita juga dapat melihat, bahwa dalam beberapa hari ini Jakarta terlihat lesu dan tidak bersemangat. Semua seakan terbawa dalam renungannya masing-masing, bahwa fakta hasil pilkada harus dihadapi dengan lapang dada. Saya yakin, bahwa kita semua belum dapat 100 persen legowo. Biarlah waktu yang menyembuhkan. Mari kita awasi yang baru, dan tetap berkontribusi untuk negeri ini.

Geleng-geleng penulis dengan tingkah laku masyarakat yang mudah terprovokasi. Seharusnya kita bisa kembali bersatu seperti saat kita pernah bersatu pada waktu berusaha mengibarkan bendera merah putih.

Biarpun mereka tersenyum, akan tetapi kita dapat melihat bahwa mata mereka tidak dapat berbohong.

Mohon maaf kepada para pembaca dan rekan penulis yang merasa tulisan ini kurang elok dan kurang bermanfaat.

Penutup, biar saya quote perkataan saya sebelumnya; “Biarkan waktu yang menyembuhkan. Mari kita awasi, dan tetap berkontribusi untuk negeri ini.”

0 Response to "Bibirmu Tersenyum, Tetapi Matamu Tidak Dapat Berbohong."

Post a Comment