Jum’at, 31 Maret 2017, sebuah berita mengejutkan muncul di media tentang ditemukannya siswa SMA Taruna Nusantara Magelang dalam kondisi tewas bersimbah darah dengan luka tusuk di lehernya. Sejak pagi sebelum diunggah media elektronik maupun cetak, foto korban dengan seragam biru sekolahnya masih terbujur di atas tempat tidur sudah tersebar di berbagai grup Whatsapp maupun Telegram. Saya sempat mengira itu hoax. Sederhana, itu adalah sekolah dengan sentuhan militer yang kuat. Mana ada sih yang berani berbuat seperti itu? Yang kedua, asrama adalah tempat di mana banyak orang tinggal bersama. Berani sekali pelakunya melakukan hal tersebut.
Remaja bertengkar mungkin banyak orang mafhum. Di usia pubertas, hormon yang belum stabil, sedang mencari identitas dan pengakuan, belum bijak bersikap dan berpikir panjang mungkin bisa disebut sebagai alasan yang dipahami. Namun sampai membunuh, wajarkah?
Di Kabupaten Bogor, 2 tahun lalu, seorang siswa SMP membunuh pelajar SMA di depan sebuah minimarket karena dendam. Oktober 2016 di Muara Enim seorang siswa membunuh teman sekelasnya karena cemburu sang korban mendekati mantan pacarnya. Di Ogan Komering Ulu, lagi-lagi karena alasan asmara, terjadi penikaman antara dua anak SMA yang sedang berkelahi. Mungkin banyak peristiwa sejenis terjadi di berbagai wilayah Indonesia yang tidak sempat diendus media.
Kenapa anak semuda itu bisa berpikir membunuh adalah cara satu-satunya melampiaskan amarah? Apakah darah muda yang membuat mereka seberani itu dalam berpikir? Dalam kejadian yang terbaru ini, bahkan tersangka sepertinya sudah merencanakan untuk mencelakai korban, karena sengaja membeli dan membawa pisau masuk ke dalam asrama sebelum kejadian. Tentu bukan tanpa alasan Ia tiba-tiba membeli pisau tersebut. Setelah kejadianpun Ia membersihkan jejaknya dan menyusul tidur di kamar lain seolah tak terjadi apa-apa. Dari pemberitaan alasan pembunuhan tersebut sederhana, tersangka marah karena korban memergoki Ia mencuri buku tabungan anak lain dan HP yang ia pinjamkan disita karena peraturan di sekolah tersebut memang tidak boleh membawa telepon genggam. Haruskah dengan masalah kecil seperti itu seorang remaja tega membunuh temannya dengan menikam lehernya? Saya saja kalau pegang pisau tajam untuk memasak saja sering merasa takut, gimana ya seseorang bisa dengan kuat dan berani menghujamkan pisau hingga tembus ke leher belakang korbannya yang sedang tidur? Sadis.
Kita semua bisa kebobolan dengan kejahatan (terlalu kejam kalau sekedar disebut kenakalan) remaja seperti ini? Tapi apakah hal ini tidak bisa dicegah?
Sekali ini bolehkah saya membawa apa yang saya dengar di debat Gubernur DKI beberapa waktu lalu saat acara Mata Najwa? Jakarta-Magelang mungkin sangat jauh, tapi apa yang dipaparkan Ahok saat debat tersebut mungkin bisa jadi salah satu alternatif mengatasi kejahatan remaja ini. Memang saat itu Ahok konteksnya sedang membicarakan tentang KJP, namun poin tentang menumbuhkan kepekaan, rasa kasih sayang, dan kedekatan antar guru dan murid itu penting dan dapat diterapkan serta diambil manfaatnya di berbagai sisi.
Sekolah asrama memang seharusnya membuat kedekatan antar penghuninya makin erat. Setiap hari bertemu harusnya memang bisa saling mengenal karakter dan pribadi satu sama lain dengan baik. Namun justru karena setiap waktu bertemu maka potensi konflik juga meningkat. Nah di sini guru atau pamong harusnya tidak hanya sekedar menjaga dalam konteks guru ke murid, namun juga melibatkan empati dan nalurinya. Mengendus setajam seorang Ibu bisa mempunyai naluri terhadap anaknya. Harus dikenali mana yang sekiranya murid ini sering berkasus, mana yang mungkin punya kesulitan belajar, mana yang punya masalah mungkin dengan teman atau keluarga, dan bahkan mana siswanya yang berbakat psikopat. Potensi konflik sekecil dan sesepele apapun tidak boleh diremehkan, meski hanya soal asmara.
Saat ini dalam sistem pendidikan kita kebanyakan pendidikan hanya dianggap proses transfer ilmu pengetahuan dari pengajar ke anak didik. Padahal namanya saja pendidikan tentu masalahnya tidak sesederhana itu. Mendidik juga tentang menanamkan nilai baik dan membesarkan seorang anak menjadi insan yang tidak hanya cerdas namun berbudi pekerti baik. Segala sesuatu yang bisa menjadi sandungan harus dikenali dan dicarikan solusinya sejak dini. Dalam kasus SMA TN misalnya, tersangka diketahui pernah mencuri. Pernahkah guru di sana menyelidiki kenapa itu terjadi? Apa alasannya? Apa hanya sekedar butuh uang? Sebab si anak, menurut paman korban, adalah putra salah seorang petinggi. Logikanya tentu Ia tak kekurangan materi.
Perilaku seseorang itu ibarat sebuah penyakit. Tidak mungkin tidak ada tanda-tanda yang mendahului itu semua. Di sinilah kepekaan seorang guru di sekolah (dan asrama) serta orangtua di rumah diasah. Guru bisa melihat bagaimana anak itu berinteraksi dengan temannya, dengan gurunya, dengan orang-orang di sekitarnya, bagaimana Ia bertanggungjawab atau tidak dengan tugas dan kewajibannya, bagaimana Ia menyikapi konflik, dll.
Sudah saatnya Kemendikbud menjadikan ini sebagai tonggak untuk lebih melibatkan pembinaan dan pengembangan psikologis peserta didik dalam proses belajar mengajar. Ini juga termasuk bagian dalam pengembangan karakter. Tugas deteksi dan konseling seyogyanya tidak hanya dijadikan tugas Guru Bimbingan dan Konseling. Siapapun mereka yang bersinggungan dengan anak, baik Wali Kelas/Guru Kelas/pembina ekstrakurikuler, harus menjalankan fungsi tersebut. Masalah ini tidak hanya menimpa siswa dari keluarga yang kondisi ekonominya lemah atau tinggal di lingkungan yang sering terjadi tindak kriminalitas, buktinya ini juga bisa menimpa mereka yang berasal dari keluarga menengah ke atas dengan pendidikan yang baik (dan tentu lingkungan yang sebetulnya representatif untuk anak tumbuh). Siswa-siswa ini mungkin secara hukum memang masih di bawah umur, namun bukan berarti itu bisa dijadikan pemakluman. Justru di sinilah alarm bahaya itu berbunyi, masih “kecil” kok sudah seperti itu?

0 Response to "Di Balik Pembunuhan Siswa SMA Taruna Nusantara"
Post a Comment