Merindukan Pidato Jokowi ala Abdillah Toha


SEBUAH teks pidato imaginer Presiden Joko Widodo yang ditulis oleh Abdillah Toha sangat menggugah. Naskah pidato di geotimes.co.id itu memang sangat mengena. Ketika saya akses, sekitar 02:20 WIB, artikel itu telah dikomentari sebanyak 1508 pembaca. Banyak pembaca (yang kurang teliti) terkecoh dan mengira itu benar pidato Jokowi. Padahal itu hanya imaginasi seorang Abdillah Toha. Sebuah imaginasi yang sebenarnya menjadi harapan banyak orang di negeri ini, termasuk saya.

Pada situasi bangsa kita belakangan ini di mana ada demo berjilid-jilid mengusung isu SARA, intoleransi, bahkan menjurus disintegrasi bangsa dan keinginan mendirikan khilafah di Indonesia, publik berharap Presiden Jokowi bersikap lebih tegas. Berharap Presiden Jokowi berpidato dalam nada tegas demi melawan kelompok-kelompok intoleran, radikal, dan ingin menghancurkan negeri ini.

Seperti dalam naskah pidato tersebut. “Tidak ada larangan bagi anggota masyarakat mana pun untuk berbicara menyampaikan aspirasinya. Namun, yang mengkhawatirkan, suara-suara itu tampaknya makin lama makin tak terkendali dan sudah sampai pada tahap membahayakan kerukunan dan persatuan bangsa, ketika menyangkut hal-hal yang peka seperti kebhinekaan, dasar, dan ideologi negara, serta kemajemukan yang menjadi landasan bagi keutuhan bangsa ini.”

Bangsa kita sedang menghadapi rongrongan hebat dari dalam. Gerakan diam-diam selama bertahun-tahun, kini semakin berani dan terang-terangan. Penyebaran paham-paham yang anti-keberagaman, menolak sistem pemerintahan demokrasi untuk digantikan dengan sistem khilafah, semakin terbuka disuarakan. Kita melihat bahwa penyebaran pemikiran seperti itu sudah diajarkan di seluruh tingkatan pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi.

Kebhinekaan bangsa kita sedang menghadapi ujian berat. Sejumlah pemikir sangat khawatir dan mereka seolah-olah menuding mayoritas diam tidak peduli pada situasi ini. Dan mungkin benar, masih banyak di antara kita yang tak peduli. Kita tidak merasa terganggu oleh berbagai gerakan yang ingin menghancurkan bangsa ini. Ibarat dapur sudah terbakar, apinya berkobar-kobar melahap seisi ruangan, tapi kita masih asyik ngopi sambil merokok seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Perhatikan ceramah Rizieq Shihab di Mekah, Arab Saudi, yang dipublikasi di Youtube pada 2 Mei 2017, pada menit 22:06 – 24:10, sebagai berikut:


Target jangka menengah, ini pelajaran buat kita semua, semua umat Islam se-Indonesia. Nanti tahun 2019, manakala ada pemilihan presiden, pemilihan legislatif, tolong jangan pilih siapa pun yang tidak pro syariat Islam. Jangan pilih siapapun yang tidak pro syariat Islam. Presiden yang dekat ulama, dekat kyai, dekat pesantren, pro syariat Islam, calon anggota dewan juga yang kita pilih, harus yang pro syariat Islam.

Maka itu saya sedih. Saya kasih contoh, di Bogor umpamanya, itu anggota DPR RI yang mewakili Bogor orang non Muslim. Kok bisa-bisanya non Muslim menang di wilayah pemilihan Muslim. Padahal Bogor itu kota kyai, kota santri, kota pesantren. Ini sudah kita ingatkan kepada orang Bogor, akan datang nggak ada lagi orang Islam memilih orang-orang kafir, baik untuk presiden maupun wakil presiden, maupun untuk gubernur atau wakil gubernur atau bupati atau walikota, atau anggota DPR RI atau anggota DPRD. Nggak boleh! Muslim hanya boleh pilih Muslim. Dan bukan sembarang Muslim yang kita pilih. Muslim yang sholeh, yang taat, yang beriman, yang taqwa, yang punya komitmen dengan penerapan syariat Islam.

Kalau ini kita lakukan, jadi nggak mesti menunggu 20 tahun, nggak mesti nunggu 30 tahun, nggak. 2019 kalau kita bisa rebut secara konstitusional, maka pada tahun 2020 syariat Islam sudah bisa jalan di Indonesia. Karena ingat, sistem perundang-undangan di Indonesia yang kuat adalah DPR RI. Kalau kursi umat Islam yang pro syariat 60 persen, atau kita katakan bisa 2/3, apalagi, maka kalau ada hukum potong tangan pencuri umpanya diusulkan, didiskusikan, berdebat, deadlock, maka akan ada tajwid, akan ada voting. Voting, kalau kita pegang 2/3 kursi yang ada di DPR, kita menang. Kalau menang, berarti hukum hudut akan bisa jalan di kita punya negeri. Jadi siapa bilang hudut tidak bisa jalan di Indonesia? Siapa bilang hukum Islam nggak boleh berlaku di Indonesia? Bisa! Dan harus kita lakukan secara konstitusional.

Ceramah di atas jelas sangat sektarian alias sangat menonjolkan identitas, dalam hal ini identitas agama. Saya membayangkan, ketika parlemen sudah dikuasai kelompok sebagaimana dikehendaki Rizieq dalam ceramah di atas, akan banyak daerah yang mayoritas bukan penganut Islam akan memilih berpisah dari NKRI. Sebab jelas, jika hukum agama yang dijalankan, maka pemeluk agama yang berbeda pasti menolak.

Seperti disebutkan Abdillah Toha, kita tidak boleh lengah dengan membiarkan kekuatan-kekuatan anti-demokrasi yang ikut serta berdemokrasi tetapi dengan tujuan mengambil untung dari alam kebebasan berdemokrasi untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Demokrasi memang memberikan hak lebih kepada suara terbanyak, tetapi tidak berarti menghilangkan hak asasi kelompok kecil dan hak hidup orang kecil. Para pendiri negeri ini telah memilih Pancasila sebagai haluan negara, di mana semua penganut agama, baik Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dijamin oleh konstitusi bebas melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya dan penganutnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Tetapi lihat yang terjadi; apakah semua warga dan umat beragama di negeri ini dapat beribadah dengan tenang? Apakah pendirian rumah ibadah tidak mengalami hambatan?

Abdillah menyontohkan sejumlah negara hancur, jutaan rakyatnya menderita akibat perselisihan antarwarga negeri yang tak terkendali, seperti yang terjadi di Afghanistan, Irak, Libya, dan Suriah. Menurutnya, ekstremisme ditandai dengan kekerasan verbal kemudian berkembang menjadi kekerasan fisik.

Menyebut masyarakat yang berbeda keyakinan dengan sebutan kafir saja sudah menimbulkan rasa tidak senang. Apalagi ujaran itu, meski dilakukan secara tertutup, tetapi kemudian tersebar secara terbuka dan luas di media sosial. Sebutan kafir seperti itu bisa dianggap sebagai kekerasan verbal lantaran telah menimbulkan ketidaknyamanan.

Membiarkan situasi ini berlarut, sama dengan mengantarkan bangsa ini menuju situasi di negara-negara yang disebutkan di atas. Dan bangsa kita sedang berjalan ke arah itu. Sejumlah tokok sudah secara terang-terangan mengungkapkan cita-cita mengubah Indonesia menjadi khilafah. Di saat bersamaan, sejumlah petinggi negeri yang kita kira lebih khawatir, justru menikmati dan bahkan ikut mengambil keuntungan politik dari situasi ini. Sikap seperti itu menimbulkan kecurigaan; jangan-jangan mereka (para elite) termasuk aktor di balik penghancuran negeri ini.

Jika kita masih ingin NKRI tetap utuh dari Sabang sampai Merauke, maka “mayoritas diam” tidak boleh lagi berpangku tangan. Kita harus berjuang bersama demi mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara agar kita bisa hidup damai dan harmonis sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika.


Terakhir, permohonan kepada Presiden Jokowi; kami sangat merindukan pidato Bapak Presiden untuk menggelorakan semangat mayoritas diam untuk bahu-membahu mempertahankan keutuhan NKRI yang kita cintai bersama.

0 Response to "Merindukan Pidato Jokowi ala Abdillah Toha"

Post a Comment